<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d19090353\x26blogName\x3dLoving+Moms\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dLIGHT\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://lovingmom.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://lovingmom.blogspot.com/\x26vt\x3d1760228831151125924', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Loving Moms

10 ways to build your 2-year-old's self-esteem * Cemilan - Cemplung Ikan * All About Bad Babysitter

3 Fondasi Anak Pintar ...

http://www.kompas.com//kesehatan/news/0512/09/124456.htm

Sungguh asyik menyaksikan si Upik dan si Buyung tumbuh.


Sedari masih bayi, ketika ia hanya bisa mengoek, tengkurap, merayap, sampai akhirnya berjalan di atas kaki sendiri. Betapa sehat dan pintarnya! Namun, kenangan manis itu terancam lenyap, jika orangtua tak buru-buru membangun fondasi yang tepat buat anak. Fondasi? Kayak rumah aja!

Memang, sama seperti rumah, anak pun memerlukan fondasi untuk meniti masa depannya. Bahan baku fondasi itu bukan makanan impor berharga mahal. Namun, kepedulian ayah-bunda pada kebutuhan anaknya di usia dini, terutama rentang usia 0 - 3 tahun atau 0 - 5 tahun, saat anak bersiap masuk institusi "sekolah", baik yang namanya Taman Penitipan Anak, Taman Bermain, maupun Taman Kanak-kanak.

Setidaknya, ada tiga fondasi yang harus ditanam, jika ingin anak tetap sehat dan pintar menjelang masuk lembaga pembelajaran formal. Yakni fondasi mental, gizi, dan perencanaan keuangan. Tiga pilar itu dipercaya bakal membawa anak mengalami pengayaan mental sejak awal, tumbuh sehat wal’afiat, serta memiliki akses ke dunia pendidikan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Please, ini soal serius, dan memang benar-benar serius. Karena kini, sebagian besar fondasi itu, ternyata dibangun orangtua dengan cara yang kurang tepat.

Menjadi diri sendiri

Fondasi ini menjadi penting, kata Hj. Tientje Nurlaila, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Child Studies (CEFICS), karena masih banyaknya salah kaprah dipraktikkan orangtua.

"Soal mental, misalnya, justru sebenarnya anak tak perlu persiapan khusus. Biarkan dia masuk usia prasekolah dengan wajar. Yang harus lebih banyak bersiap justru orangtuanya," tegas warga Bogor ini.

Contohnya, saat anak bertemu dan bermain dengan teman sebaya, baik di Taman Penitipan Anak maupun di Taman Bermain, orangtua sering bertindak kelewat protektif. Begitu melihat si anak menangis, naluri icam (ikut campur) mereka langsung terangsang. Tak jarang, sang ibu marah pada teman atau guru yang membiarkan anaknya tersedu-sedan.

Padahal, tangisan anak saat memasuki lingkungan baru, menurut Tientje, itu bagian dari proses sosialiasi yang harus dijalani. Di Taman Bermain dan sejenisnya, proses itu bisa berlangsung antara tiga hari sampai dua minggu. "Kita mengamati saja dari jauh. Jika terjadi sesuatu yang menyimpang, misalnya ia menangis sambil membanting-banting benda yang dipegang, barulah turun tangan," cetus Tientje.

Upaya "membentuk" mental anak, apalagi di usia 0 - 3 tahun, bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Terlalu disiplin dengan selalu memaksa anak mengucapkan kata-kata yang baik-baik, manis, dan sopan di rumah, misalnya, membuat si Buyung atau si Upik kebingungan ketika berhadapan dengan teman-temannya yang berperilaku sebaliknya. Dia seperti kehilangan jati diri. Mana yang harus diikuti, perintah orangtua atau teman-temannya? Berdasarkan pengalaman, anak biasanya lebih suka ikut arus pergaulan.

Sebaliknya, jika sejak awal si anak tidak diperangkap dengan berbagai aturan dan larangan, kelak orangtua akan lebih mudah meluruskan dan memberi pengertian tentang bahaya atau dampak negatif sebuah perbuatan yang dilihat anak di luar rumah. Ia pun tidak dibuat bingung, karena langsung punya pedoman. "Itu sebabnya, saya lebih suka orangtua bertindak sebagai pengamat. Jika ada sesuatu yang kurang beres, barulah turun tangan," tandasnya.

Praktik mendidik dengan lebih banyak memberikan kebebasan dan pilihan pada anak, serta membiarkan anak belajar dari kesalahan, kini banyak dilakukan di negara-negara maju. Model paksaan atau larangan sudah ketinggalan zaman. Apalagi untuk anak usia 0 - 3 tahun, yang tergolong rentang usia sensitif.

"Kemampuan berbahasa mereka baru dalam tahap mendengarkan, tapi belum mengerti apa maknanya," jelas Tientje.

Tiap anak, menurut Tientje, menyimpan sifat gabungan yang berasal dari gen bapak dan ibunya. Kalau orangtua secara genetis mewariskan sifat boros pada anaknya, upaya mengubah anak menjadi superhemat tentu tak segampang membalik punggung tangan. Perempuan murah senyum ini bilang, sifat anak yang dibawa sejak lahir ibarat takdir yang sulit diubah, sedangkan perkembangannya bisa diibaratkan sebagai nasib.

"Orangtua tidak bisa mengubah takdir anak, tapi bisa mengarahkan agar nasibnya lebih baik," imbuh Tientje. Jadi, kalau anak terlanjur mewarisi sifat boros, bapak dan ibunya bertugas mengarahkan agar tingkat keborosan itu tak berkembang menjadi sesuatu yang merugikan nantinya. "Jangan lupa, kita pernah menjadi manusia seusia dia. Tapi dia belum pernah menjadi manusia seusia kita. Jadi, biarkanlah anak menemukan dirinya sendiri," tutup Tientje berfilsafat.

Gemuk belum tentu sehat

Bukan hanya fondasi mental yang dilakoni secara salah kaprah, fondasi gizi pun setali tiga uang.

Sekarang ini, banyak orangtua yang bangga anaknya gemuk. Anak gemuk, lebih tepatnya kegemukan, bahkan dianggap sebagai lambang kemapanan orangtua.

"Padahal, anak gemuk tidak identik dengan anak sehat. Badan gemuk juga tidak otomatis membuat anak lebih pintar," bilang dr. Luciana B. Sutanto, praktisi gizi.

Belakangan, prevalensi (angka kejadian) obesitas anak-anak di Indonesia, seperti juga di negara-negara maju, meningkat tajam. Ciri-ciri anak kegemukan, antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada menggembung dengan payudara membesar. Hati-hati dengan "kelebihan" yang satu ini, karena obesitas pada anak dipercaya dapat memicu penyakit jantung, dilipidemia, hipertensi, dan masih banyak lagi.

Dampak obesitas bisa terjadi dalam hitungan detik alias jangka pendek, tapi dapat juga jangka panjang. Jangka pendek, ketika masuk Taman Bermain Anak contohnya, "si gendut" (begitu biasanya dia dijuluki oleh kawan-kawan "normal"nya) bisa menjadi bahan olok-olokan yang tak kunjung reda. Pada anak, ejekan itu sangat mungkin menumbuhkan rasa rendah diri. Anak gemuk pun kurang bebas beraktivitas, karena lamban dalam bergerak.

Dr. Luciana menyarankan, orangtua sebaiknya tetap berpegang pada aturan gizi seimbang. Selain itu, perhatikan juga takarannya, jangan samakan dengan takaran orang dewasa. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, anak-anak dengan problem kegemukan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena dianggap sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan generasi masa depan.

Alangkah baiknya jika masalah keseimbangan gizi ini sudah diperhatikan, bahkan sejak bayi membutuhkan makanan pendamping air susu ibu (ASI). Dalam sebuah seminar, Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH menyatakan, untuk mencegah gangguan dalam tumbuh kembang balita, makanan pendamping itu harus memenuhi beberapa syarat.

Di antaranya padat gizi dan seimbang (kaya energi, cukup protein, perbandingan karbohidrat dan lemak seimbang). Kandungan lemak harus mampu mencukupi kebutuhan asam lemak jenuh dan tidak jenuh, cukup vitamin dan mineral, serta batasi kandungan serat kasar. Gula dan garam diberikan secukupnya untuk memberi rasa. Di samping itu makanan pendamping juga harus aman dikonsumsi, bebas dari gangguan organisme patogen (penyebab penyakit), racun, dan bahan berbahaya lainnya.

Ahli pangan IPB, Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. mengamini, makanan pendamping ASI mesti memenuhi kebutuhan energi dan gizi bayi, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ia juga menyitir Codex Alimentarius Commission, yang pada 1991 mensyaratkan kandungan energi minimum 400 kkal/10 g, protein 15 gram/100 g, lemak 10 - 25 g/100 g, asam linoleat 1,4 g/100 g, serat kasar maksimum 5 g/100 g.

Dr. Luciana menambahkan, setelah agak besar, sebaiknya anak juga dilatih dengan beragam kebiasaan makan yang baik, seperti membiasakan diri sarapan. Jika terbiasa sarapan, saat mulai masuk sekolah kelak, anak tak akan kaget lagi makan-minum di pagi hari. Selain itu sarapan penting untuk memberi energi, agar anak tetap sehat dan bersemangat, apa pun aktivitas yang dilakukannya di pagi dan siang hari.

Empat Garis Besar

Jika fondasi mental dan gizi tak lagi disalahkaprahi, perencanaan keuangan harus dicermati untuk menjamin masa depan pendidikan anak.

Ketika usia anak makin bertambah, bekal perilaku terpuji dan badan sehat saja tentu belum mencukupi. Kelak anak harus dibekali dengan pendidikan prasekolah dan sekolah beneran (SD, SMP, SMA, dan seterusnya).

Idealnya. persiapan dilakukan orangtua jauh sebelum saat bersekolah tiba. Kalau perlu, sejak buah hati lahir. Seperti dilansir perencana keuangan Harris P. Marpaung, dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, perhatian orangtua memang harus ekstra.

Secara garis besar, ada empat hal pokok yang harus dilakukan orangtua dalam mempersiapkan masa depan anak. Mula-mula, rencanakan segala sesuatunya sejak awal, misalnya prasekolah atau sekolah apa yang ingin dituju. Setelah itu, sebaiknya alokasikan duit sejak dini, agar tak kepepet di kemudian hari.

Kemudian lakukan sesuatu untuk menjamin agar dana pendidikan itu selalu tersedia (siap digunakan pada saat dibutuhkan). Misalnya, dengan melipatgandakan duit di areal perbankan, bisa dengan memasukkannya ke rekening tabungan (dan berharap dari bunganya) atau mengandalkan deposito. Bisa juga memutar uang di jalur reksadana dan asuransi pendidikan. Pola lama, seperti menyimpan duit di bawah kasur atau di laci lemari, sebaiknya ditinggalkan.

Terakhir, masih menurut Harris, orangtua harus disiplin dalam menjalankan semua rencana. Kalau dijalankan dengan konsisten, si kecil tak hanya akan menikmati masa-masa indah di usia dini, tapi juga jaminan bahwa masa-masa indah itu tak akan pudar seiring berjalannya waktu, masa ketika ia menjalani hidup dengan pintar (menjadi diri sendiri, bugar, dan berpikir jauh ke depan).

Ya, seperti rumah, si Upik dan si Buyung memang butuh pijakan kuat untuk melangkah ke depan.*

Sumber: Kompas.com

Posted by Sheila

0 Comments:

Post a Comment

<< Home